Wednesday, February 27, 2013

Dinamika Kebudayaan Islam (Makalah MKDI)




DINAMIKA KEBUDAYAAN ISLAM DI LINGKUNGAN SEKITAR
I.                   Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah Negara terdiri atas berbagai suku, agama dan ras dalam masyarakat. Kita menyadari bahwa kita hidup dalam masyarakat pluralistic dan pluralism. Hal ini merupakan fakta yang tak terelakkan. Masyarakat Indonesia adalah warga Negara yang sama, tetapi dengan berbagai latar belakang budaya dan agama yang berbeda.
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dinyatakan dalam ideology bangsa Indonesia, Pancasila sila pertama : “KeTuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesiaberpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi, dan budaya. Dengan banyaknya agama maupun aliran kepercayaan yang ada di Indonesia, konflik antar agama sering kali tidak terelakkan. Lebih dari itu, kepemimpinan politis Indonesia memainkan peranan penting dalam hubungan antar kelompok maupun golongan.
Salah satu dari keragaman agama yang diakui dan dianut oleh masyarakat Indonesia adalah Islam. Islam merupakan salah satu agama yang memiliki penganut paling tinggi di Indonesia. Sebagai suatu Negara dengan mayoritas masyarakat penganut agama Islam, tentu saja banyak hal dari kebudayaan Islam yang dapat kita lihat dan rasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan sejarah, kaum pendatang telah menjadi pendorong utama keanekaragaman agama dan kultur di dalam negeri dengan pendatang dari India, Tiongkok, Portugal, Arab dan Belanda. Bagaimanapun, hal lini sudah berubah sejak beberapa perubahan telah dibuat untuk menyesuaikan kultur di Indonesia.





II.                 Dinamika Kebudayaan Islam
Toleransi merupakan konsep modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerjasama di antara kelompok – kelompok masyarakat yang berbeda baik secara etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Karena itu, merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian organic dari ajaran agama – agama, termasuk agama Islam
Dalam konteks toleransi antar umat – beragama, Islam memikliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan agama”, “Bagi kalian agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalalh contoh popular dari toleransi dalam Islam. Fakta historis menunjukkan bahwa masalah toleransi dalalm Islam bukanlah konsep asing.
Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan.
Hidup dalam keragaman agama di tengah masyarakat membangkitkan toleransi beragama antar masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat Medan, yang terdiri dari penganut Islam, Kristen dan Buddha, melakukan atau merayakan hari besar masing – masing agama. Seperti ketika umat Muslim melaksanakan ibadah puasa selama 1 bulan penuh, maka di bulan yang suci ini banyak kita temukan masyarakat yang menjual makanan untuk berbuka puasa. Dan orang – orang yang menjual makanan tersebut tidak semuanya Muslim, mereka yang bukan penganut agama Islam pun turut membantu dalam menyediakan penganan pembuka puasa.
Tak hanya itu, untuk menghargai orang – orang yang menunaikan ibadah puasa, sebagai bentuk toleransi agama, umat non muslim berusaha menjaga tingkah laku mereka terhadap umat yang sedang berpuasa ini. Dan ketika hari Raya Lebaran tiba, semua ikut merayakan hari besar tersebut bersama – sama, saling memohon maaf antar anggota masyarakat walaupun bukan dari agama yang sama.
Kebudyaan Islam di lingkungan sekitar tempat tinggal kita dapat dengan mudah kita lihat dan rasakan, hal ini disebabkan Islam adalah agama mayoritas atau agama yang penganutnya paling banyak di Indonesia ini. Misalnya di pemukiman tempat saya tinggal, banyak terdapat mahasiswa dari berbagai daerah, suku dan agama yang tinggal menetap untuk sementara di daerah tersebut, banyak mahasiswi yang keluar rumah dan melakukan aktivitasnya dengan menggunakan busana muslim, yakni memakai kerudung, pakaian lengan panjang tertutup dan rok panjang, hal ini menunjukkan kebudayaan islam yang menganjurkan umatnya yang wanita agar menutup auratnya di depan umum. Dengan profil yang demikian, pastilah kita mengetahui bahwa mahasiswa tersebut adalah seorang Muslimah.



Bilingualisme, Diglosia, Interferensi dan Campur Kode (SOSIOLINGUISTIK)



Disusun Oleh:
Rohana Uli Pakpahan (090708034)









Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara
Makalah Sosiolinguistik
Bilingualisme, Diglosia, Interferensi, dan Campur Kode


Bilingualisme atau Kedwibahasaan
Haugen (1968) sebagaimana yang dikutip dalam Suwito (1983:41) yang menunjuk bilingualisme semata-mata sebagai ‘knowledge of two languages’, artinya pengetahuan terhadap dua bahasa. Jadi, untuk menjadi seorang dwibahasawan, seseorang tidak perlu memiliki ‘the same mastery of two languages’ atau penguasaan yang sama pada dua bahasa. Seseorang cukup mengerti secara pasif dua bahasa atau lebih saja tanpa harus mampu berbicara (completely passice bilingualism, understanding without speaking), sudah dapat disebut sebagai individu bilingual.
Seseorang memakai dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, dapat dikatakan dia berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah: kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam interaksi dengan orang lain.
Jika kita berpikir tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas (dari bahasa Inggris bilinguality). Jadi, orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua bahasa, atau kemampuan memakai dua bahasa. Kedua pengertian itu dapat dibedakan dengan “kedwibahasaan” (untuk kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk kemampuan), tetapi di istilahkan dengan bilingualisme dan  bilingualitas.
Terdapat hubungan logika antara bilingualisme dan bilingualitas, bahwa tidak semua yang mempunyai bilingualitas memraktekkan bilingualisme dalam hidupnya sehar-hari, sebab ini tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Dapat saja orang yang tahu dua bahasa menggunakan hanya satu bahasa selama dia di satu tempat/ keadaan (dalam waktu yang pendek atau lama), dan memakai bahasa yang kedua kalau dia berada di tempat/ keadaan yang lain (dalam waktu yang pendek atau lama). Bilingualisme seperti ini dilaksanakan secara berurutan yang dapat berjarak waktu yang lama, umpamanya berjarak atau selang beberapa tahun.
Namun dapat dimengerti bahwa tidak dapat seseorang mengerjakan bilingualisme tanpa dia mempunyai bilingualitas. Dengan kata lain, secara logika, bilingualisme berimplikasi bilingualitas; atau seseorang harus mempunyai dahulu bilingualitas sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme.
Kedwibahasaan (bilingualisme) dapat dipakai untuk perorangan (individual bilingualism) dan dapat juga untuk masyarakat (societal bilingualism). Kedwibahasaan dalam satu masyarakat terdapat dua keadaan teoretis yang ekstrem, yaitu:
Pertama ialah keadaan di mana semua anggota masyarakat itu tahu dua bahasa dan menggunakan kedua bahasa setiap hari dalam pekerjaan dan interaksi sosialnya.
Kedua ialah bila ada dua bahasa dalam masyarakat itu, tetapi setiap orang tahu hanya satu bahasa dan dengan begitu masyarakat itu terdiri dari dua jaringan komunikasi (atau masyarakat bahasa) yang monolingual dan tersendiri.
Dalam keadaan sebenarnya, kedua keadaan kedwibahasaan yang ekstrem ini tidak kedapatan terkecuali dalam masyarakat-masyarakat yang amat kecil dan terpencil (Gumperz, 1968).

Dengan adanya bilingualisme masyarakat (societal bilingualism) di suatu tempat, belum selalu berarti akan terdapat di situ bilingualitas (perorangan). Ini terlihat dalam contoh di antara orang kasta rendah di India yang secara ketat terpisah dari orang Bramin yang berkasta tertinggi. Keadaan seperti ini terdapat di satuan-satuan kemasyarakatan yang kurang berkembang secara ekonomis dengan mobilitas sosial yang hampir tidak ada.

Diglosia
Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara – negara Arab, Swis, dan Haiti. Defenisi diglosia yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai berikut:
             Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek utamaa dari bahasa (yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal suatu ragam yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan sehari-hari.

Pengertian tentang diglosia kemudian dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi juga dikenakan pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa.
Oleh Fishman (1972: 92) diglosia diartikan sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in multilingual societies which offocially recognize several “language”, and not only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui beberapa bahasa”, dan tidak hanya terdapat terdapat di dalam masyarakat yang menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam masyaakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis apapun yang berbeda secara fungsional.

Interferensi
Pada orang yang berdwibahasa (bilingual) ada kemungkinan terdapat interferensi atau pengacauan. Interferensi yang terdapat dalam tindak laku bahasa perorangan, disebut interferensi perlakuan (performance interference), yaitu yang sering terdapat sewaktu orang masih belajar suatu bahasa kedua/ asing. Dalam hal ini disebut gejala itu interferensi perkembangan atau interferensi belajar (developmental atau learning interference).
Macam interferensi lain yang kelihatan dalam bentuk perubahan dalam satu bahasa dengan unsur-unsur, bunyi, atau struktur dari bahasa yang lain terjadi oleh pertemuan atau persentuhan antara dua bahasa melalui interferensi perlakuan dari penutur-penutur yang berdwibahasa. Perubahan yang dihasilkan ialah perubahan dalam sistem bahasa, sehingga gejala ini disebut interferensi sitemik.
Mekanisme perubahan kebahasaan dalam interferensi sistemik ialah yang disebut pungutan (borrowing) yang berhubungan erat dengan pungutan kebudayaan (cultural diffusion)

Campur Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual adalalah terjadinya campur kode (code-mixing). Suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act  atau dicourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/ atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
Apabila di dalam alih kode fungsi konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito 1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89) memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Selain itu, Thelander (1976:103 dalam Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam “peristiwa campur” (co-occurance) itu terbatas pada tingkat klausa. Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu disebut campur kode.

Menurut Hudson (1996:53) menyatakan bahwa “In code switching the point at which the languages change corresponds to a point where the situation changes, either on its own or precisely because the language changes”, yang artinya perubahan bahasa dalam sebuah tuturan oleh seorang dwibahasawan ke penutur dwibahasa lainnya tanpa adanya perubahan situasi.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain : (a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai tersendiri.



Daftar Pustaka

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar. Jakarta:     Penerbit Gramedia
Rahardi, R. Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Penerbit   Ghalia Indonesia

http://fathurrokhmancenter.wordpress.com/sosiolinguistik/

Ikebana (Tugas Metode Penelitian)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Jepang adalah sebuah negara di bagian Asia Timur yang  memiliki keunikan tersendiri di antara negara – negara di sekitarnya. Dalam perkembangan sejarahnya, Jepang mendapat pengaruh kuat dari negara China baik dari segi pengetahuan, pemerintahan, kepercayaan juga kebudayaan.

Menurut Suryohadiprojo (1982:192-193), rakyat Jepang pada dasarnya konservatif yaitu suatu bangsa yang berusaha memelihara dan meneruskan nilai – nilainya sendiri. Tetapi di lain pihak, sifat rakyat Jepang menunjukkan naluri yang amat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Karena itu ia didorong untuk menerima atau bahkan mengambil hal – hal baru dari luar, jika hal – hal itu dirasakan bermanfaat untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Menurut Koentjaraningrat dalam Takari, dkk (2008:5) mengatakan bahwa konsep tentang kebudayaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar.

Keindahan merangkai bunga ala Jepang ini memiliki keindahan tersendiri yang terkadang sulit dipahami oleh orang – orang  yang belum begitu mengenalnya. Ikebana adalah sepenuhnya sebuah seni yang tidak mudah, tetapi bukan berarti sebuah rahasia yang sulit untuk dipelajari. Kreatifitas yang tinggi di lapangan adalah tepat dan kunci keberhasilan para ahli yang terampil. Dengan waktu yang relative sedikit masih memungkinkan siapa saja membuat rangkaian Ikebana yang indah. Akan tetapi untuk menuju pada rangkaian bebas membutuhkan pengetahuan dan tehnik yang biasanya hanya akan dimiliki oleh seorang Master.

Berdasarkan keterangan dan penejelasan di atas, maka penulis berminat untuk membahasanya melalui penelitian yang berjudul “ Kebudayaan Ikebana dalam Kehidupan Masyarakat Jepang”.

1.2   Perumusan Masalah
Pembahasan dalam tulisan ini berhubungan dengan kebudayaan. Kebudayaan tidak sama dengan budaya. Kebudayaan lebih bersifat konkret atau nyata dibandingkan budaya. Budaya adalah sesuatu yang semiotic, tidak kentara atau yang bersifat laten.

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006:2-3) membedakan kebudayaan dalam dua pengertian yaitu kebudayaan dalam arti luas dan kebudayaan dalam arti sempit. Dalam arti luas, kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata). Dia menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan ilmiah. Oleh karena itu, Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang sifatnya konkret yang dapat diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit, menurut Ienaga adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, system kepercayaan dan seni.  Oleh karena itu, pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara.

Contoh dari budaya Jepang adalah seperti budaya senioritas atau dalam bahasa jepang disebut nenkoujoretsu, budaya malu yang diwujudkan dalam budaya yang taat aturan dan disiplin. Sedangkan contoh dari kebudayaan Jepang adalah seperti origami, ikebana, chanoyu dan lain sebagainya.

Disini penulis mengambil salah satu contoh kebudayaan yang dijadikan sebagai bahan penelitian yaitu Ikebana. Ikebana merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang begitu dikenal di seluruh dunia dan tersebar di berbagai negara. Ikebana selain sebuah seni, sekarang juga sudah menjadi pekerjaan atau mata pencarian bagi kaum perempuan dan laki – laki.

Terkadang sulit memahami keindahan dari ikebana itu sendiri dilihat dari seni merangkainya. Sebab di dalam ikebana terdapat berbagai macam aliran yang masing – masing mempunyai cara tersendiri dalam merangkai berbagai jenis bunga.
Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan penelitian ini hendak menjawab pertanyaan – pertanyaan sebagai berikut:
-          Bagaimana sejarah munculnya ikebana?
-          Bagaimana fungsi ikebana dalam kehidupan masyarakat Jepang saat ini?

1.3   Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam pembahasan disini, penulis memberikan pembatasan ruang lingkup permasalahan yang dianggap perlu agar masalah penelitian tidak menjadi terlalu luas dan berkembang jauh dari pembahasan sehingga masalah yang akan dibahas dapat lebih terarah dalam penulisannya.

Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada Makna Ikebana dalam kehidupan masyarakat Jepang. Dan untuk mendukung penulisan penelitian ini, maka penulis akan menambahkan penguraian sejarah singkat lahirnya ikebana serta beberapa aliran ikebana yang terbentuk oleh beberapa tokoh ikebana pada masanya.


1.4   Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
1.4.1          Tinjauan Pustaka
Ikebana adalah seni merangkai bunga ala Jepang yang memanfaatkan berbagai jenis bunga rumput – rumputan dan tanaman dengan tujuan untuk dinikmati keindahannya. Ikebana telah meluas ke seluruh dunia. Dalam bahasa Jepang, Ikebana juga dikenal dengan istilah kadou (ka: bunga, do: jalan kehidupan) yang lebih menekankan Merangkai bunga Ikebana tidak hanya sekedar dan semudah menempatkan bunga – bunga ke dalam vas (container), akan tetapi merupakan bentuk disiplin seni dimana merupakan rangkaian yang hidup yang menyatu antara kejiwaan manusia dengan alam sekitarnya, dengan kata lain Ikebana adalah sebuah philosofi untuk lebih dekat dengan alam.
Ikebana juga adalah sebuah ekspresi yang kreatif dalam bingkai aturan untuk membuat rangkaiannya. Materi yang digunakan antara lain: ranting – ranting, daun – daun, bermacam – macam bunga dan rerumputan yang dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kombinasi warna, bentuk alamiah dan lain – lain. Sebagian besar perangkai Ikebana adalah dari kaum perempuan, tetapi ada juga dari kaum lelaki yang suka merangkai Ikebana, bahkan ada beberapa perangkai Ikebana laki – laki yang handal.

 Menurut literature klasik seperti Makuro no soushi y ang bercerita tentang adat istiadat Jepang, tradisi mengagumi bunga dengan cara memotong tangkai dari sekuntum bunga sudah dimulai sejak zaman Heian. Awalnya, bunga diletakkan di dalam wadah yang sudah ada sebelumnya, dan kemudian baru dibuatkan wadah khusus untuk vas bunga.

Ikebana sebagai salah satu seni tradisional di Jepang  sudah dikenal lebih dari 600 tahun yang lalu. Bermula sebagai acara ritual agama Budha dalam rangka memberikan persembahan bunga kepada arwah leluhur. Ikebana berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Buddha di Jepang di Abad ke – 6.  Namun ada juga penelitian yang mengatakan Ikebana berasal dari tradisi animism orang zaman kuno yang menyusun kembali tanaman yang sudah dipetik dari alam sesuai dengan keinginannya. Di zaman kuno, manusia merasakan keanehan yang terdapat pada tanaman dan menganggapnya sebagai suatu misteri.

Berbeda dengan binatang yang langsung mati setelah diburu, buang atau bagian tanaman yang sudah dipetik dari alam bila diperlakukan dengan benar tetap mempertahankan kesegaran sama seperti sewaktu masih berada di alam. Manusia yang senang melihat ‘keanehan’ yang terjadi kemudian memasukkan bunga atau bagian tanaman yang sudah dipotong ke dalam vas bunga. Manusia zaman kuno lalu merasa puas karena menganggap dirinya sudah berhasil mengendalikan peristiwa alam yang sebelumnya tidak bisa dikendalikan oleh manusia.

Sejak sekitar pertengahan abad ke -15, Ikebana berubah statusnya dari yang sebelumnya sebagai symbol keagamaan menjadi bentuk seni yang bebas. Yang kemudian lambat laun sejalan dengan perjalanan waktu, tumbuh sekolah – sekolah Ikebana, terjadi perubahan gaya dan menjadi lebih sederhana untuk semua lapisan masyarakat  Jepang.


1.4.2          Kerangka Teori
Teori adalah serangkaian bagian atau variable, defenisi, dan dalil yang saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai fenomena dengan menentukan hubungan antar variable, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah. Teori merupakan kesimpulan yang diambil dari hubungan antara fakta satu dengan fakta lain.

Menurut Moeliono dalam Sangidu (2007:13), teori merupakan asas atau hukum – hukum umum yang menjadi dasar (pijakan pedoman, tuntutan) suatu ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, teori merupakan aturan (tuntunan kerja) untuk melakukan sesuatu.
Pembahasan tentang Ikebana, erat hubungannya dengan sejarah Jepang. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan – keadaan atau fakta – fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran. Maka dari itu, pembahasan masalah dalam penulisan ini menggunakan pendekatan sejarah.

        Metode penelitian dengan menggunakan pendekatan sejarah, penyelidikan yang kritis terhadap keadaan – keadaan, perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati – hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dan sumber – sumber keterangan tersebut.

Menurut Gilbert J. Garraghan, penelitian sejarah adalah seperangkat aturan – aturan dan prinsip – prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber – sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis dan menyajikan sintesis dari hasil – hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.

Selain menggunakan pendekatan sejarah, penulis juga menggunakan pendekatan semiotic. Semiotic atau semiologi. Menurut Segers dalam Sangidu (2007:18) semiotic merupakan suatu disiplin yang meneliti semua bentuk komunikasi selama komunikasi itu dilaksanakan dengan menggunakan tanda  yang didasarkan pada system – system tanda atau kode – kode. Di dalam kehidupan yang termasuk tanda atau kode adalah karya seni, pakaian, meja, dan sebagainya.

1.5   Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1          Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun berdasarkan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, memiliki beberapa tujuan, yakni:
1.       Untuk mengetahui secara jelas awal mula atau sejarah dari seni merangkai bunga dari Jepang atau Ikebana
2.       Untuk mengenal budaya Jepang melalui salah satu kebudayaannya.
3.       Untuk mengetahui secara jelas bagaimana fungsi dan makna Ikebana dalam kehidupan masyarakat Jepang.

1.5.2          Manfaat Penelitian
Karya tulis yang berupa penelitian ini diharapkan nantinya dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi pihak – pihak tertentu, yakni:
-           Bagi penulis sendiri, sehingga memberikan wawasan dan informasi mengenai sejarah perkembangan Ikebana dan penerapannya atau fungsi Ikebana tersebut dalam masyarakat Jepang.
-          Memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya tentang fungsi Ikebana dalam kehidupan masyarakat Jepang
-          Dapat menjadi sumber ide dan tambahan informasi bagi peneliti selanjutnya maupun kepada masyarakat umum yang memiliki ketertarikan khusus terhadap Ikebana.

1.6      Metode Penelitian
Dalam penulisan penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif dan  historis. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yg diselediki dengan menggambarkan/ melukiskan keadaan subjek/ objek peneliitiann  pada saat sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Sedangkan metode penelitian historris adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan – peninggalan baik untuk memahasmi kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarng.

1.7      Personalia Peneliti
Nama                    : Rohana Uli Pakpahan
N.I.M                    : 090708034
P.studi                  : Sastra Jepang
Pekerjaan           : Mahasiswa











Daftar Pustaka