Disusun Oleh:
Rohana Uli
Pakpahan (090708034)
|
Program
Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas
Sumatera Utara
|
Makalah Sosiolinguistik
|
Bilingualisme,
Diglosia, Interferensi, dan Campur Kode
|
Bilingualisme
atau Kedwibahasaan
Haugen (1968)
sebagaimana yang dikutip dalam Suwito (1983:41) yang menunjuk bilingualisme
semata-mata sebagai ‘knowledge of two languages’,
artinya pengetahuan terhadap dua bahasa. Jadi, untuk menjadi seorang
dwibahasawan, seseorang tidak perlu memiliki ‘the same mastery of two languages’ atau penguasaan yang sama pada
dua bahasa. Seseorang cukup mengerti secara pasif dua bahasa atau lebih saja
tanpa harus mampu berbicara (completely
passice bilingualism, understanding without speaking), sudah dapat disebut
sebagai individu bilingual.
Seseorang memakai
dua bahasa dalam pergaulannya dengan orang lain, dapat dikatakan dia
berdwibahasa dalam arti dia melaksanakan kedwibahasaan yang disebut bilingualisme. Jadi bilingualisme ialah: kebiasaan menggunakan dua bahasa dalam
interaksi dengan orang lain.
Jika kita berpikir
tentang kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa, yaitu memakai dua
bahasa, kita akan sebut ini bilingualitas
(dari bahasa Inggris bilinguality).
Jadi, orang yang “berdwibahasa” mencakup pengertian kebiasaan memakai dua
bahasa, atau kemampuan memakai dua bahasa. Kedua pengertian itu dapat dibedakan
dengan “kedwibahasaan” (untuk kebiasaan) dan “kedwibahasawanan” (untuk
kemampuan), tetapi di istilahkan dengan bilingualisme
dan bilingualitas.
Terdapat hubungan
logika antara bilingualisme dan bilingualitas, bahwa tidak semua yang mempunyai
bilingualitas memraktekkan bilingualisme dalam hidupnya sehar-hari, sebab ini
tergantung pada situasi kebahasaan di lingkungannya. Dapat saja orang yang tahu
dua bahasa menggunakan hanya satu bahasa selama dia di satu tempat/ keadaan
(dalam waktu yang pendek atau lama), dan memakai bahasa yang kedua kalau dia
berada di tempat/ keadaan yang lain (dalam waktu yang pendek atau lama).
Bilingualisme seperti ini dilaksanakan secara berurutan yang dapat berjarak
waktu yang lama, umpamanya berjarak atau selang beberapa tahun.
Namun dapat
dimengerti bahwa tidak dapat seseorang mengerjakan bilingualisme tanpa dia
mempunyai bilingualitas. Dengan kata lain, secara logika, bilingualisme
berimplikasi bilingualitas; atau seseorang harus mempunyai dahulu bilingualitas
sebelum dia dapat mengerjakan bilingualisme.
Kedwibahasaan (bilingualisme) dapat dipakai untuk
perorangan (individual bilingualism)
dan dapat juga untuk masyarakat (societal
bilingualism). Kedwibahasaan dalam satu masyarakat terdapat dua keadaan
teoretis yang ekstrem, yaitu:
Pertama ialah
keadaan di mana semua anggota masyarakat itu tahu dua bahasa dan menggunakan
kedua bahasa setiap hari dalam pekerjaan dan interaksi sosialnya.
Kedua ialah
bila ada dua bahasa dalam masyarakat itu, tetapi setiap orang tahu hanya satu
bahasa dan dengan begitu masyarakat itu terdiri dari dua jaringan komunikasi
(atau masyarakat bahasa) yang monolingual dan tersendiri.
Dalam keadaan sebenarnya, kedua keadaan
kedwibahasaan yang ekstrem ini tidak kedapatan terkecuali dalam
masyarakat-masyarakat yang amat kecil dan terpencil (Gumperz, 1968).
Dengan adanya bilingualisme masyarakat (societal bilingualism) di suatu tempat,
belum selalu berarti akan terdapat di situ bilingualitas (perorangan). Ini
terlihat dalam contoh di antara orang kasta rendah di India yang secara ketat
terpisah dari orang Bramin yang berkasta tertinggi. Keadaan seperti ini
terdapat di satuan-satuan kemasyarakatan yang kurang berkembang secara ekonomis
dengan mobilitas sosial yang hampir tidak ada.
Diglosia
Istilah diglosia diperkenalkan pertama kali oleh Ferguson (1959) untuk
melukiskan situasi kebahasaan yang terdapat di Yunani, negara – negara Arab,
Swis, dan Haiti. Defenisi diglosia
yang diberikan oleh Ferguson adalah sebagai berikut:
Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan
yang relatif stabil, yang di samping adanya dialek-dialek utamaa dari bahasa
(yang mungkin meliputi ragam-ragam baku setempat), juga mengenal suatu ragam
yang ditinggikan, yang sangat berbeda, yang terkodifikasikan secara rapi (dan
yang tatabahasanya lebih rumit), yang berasal dari waktu yang lampau atau yang
berasal dari masyarakat bahasa lain, yang dipelajari melalui pendidikan formal
dan sebagian besar dipakai untuk keperluan formal lisan dan tertulis tetapi
tidak dipakai di sektor apa pun di dalam masyarakat itu untuk percakapan
sehari-hari.
Pengertian tentang diglosia kemudian
dikembangkan oleh Fishman (1972: 92). Istilah diglosia tidak hanya dikenakan
pada ragam tinggi dan rendah dari bahasa yang sama akan tetapi juga dikenakan
pada bahasa yang sama sekali tidak serumpun. Yang menjadi tekanannya adalah
perbedaan fungsi kedua bahasa tau ragam bahasa yang bersangkutan. Di samping
itu, Fishman juga berpendapat bahwa diglosia tidak hanya terdapat pada
masyarakat yang mengenal satu bahasa dengan dua ragam bahasa semata-mata; diglosia
dapat juga ditemukan pada masyarakat yang mengenal lebih dari dua bahasa.
Oleh Fishman (1972: 92) diglosia diartikan
sebagai berikut. “ … diglossia exits not only in
multilingual societies which offocially recognize several “language”, and not
only in societies which employ separate dialects, registers, or funcitonally
differentiated language varieties of whatever kind” (… diglosia
tidak hanya terdapat di dalam masyakat aneka bahasa yang secara resmi mengakui
beberapa bahasa”, dan tidak hanya terdapat terdapat di dalam masyarakat yang
menggunakan ragam sehari-hari dan klasik, tetapi terdapat juga di dalam
masyaakat bahasa yang memakai logat-logat, laras-laras, atau ragam-ragam jenis
apapun yang berbeda secara fungsional.
Interferensi
Pada orang yang berdwibahasa (bilingual)
ada kemungkinan terdapat interferensi
atau pengacauan. Interferensi yang
terdapat dalam tindak laku bahasa perorangan, disebut interferensi perlakuan (performance
interference), yaitu yang sering terdapat sewaktu orang masih belajar suatu
bahasa kedua/ asing. Dalam hal ini disebut gejala itu interferensi perkembangan atau interferensi belajar (developmental atau learning interference).
Macam interferensi lain yang kelihatan
dalam bentuk perubahan dalam satu bahasa dengan unsur-unsur, bunyi, atau
struktur dari bahasa yang lain terjadi oleh pertemuan atau persentuhan antara
dua bahasa melalui interferensi perlakuan dari penutur-penutur yang
berdwibahasa. Perubahan yang dihasilkan ialah perubahan dalam sistem bahasa,
sehingga gejala ini disebut interferensi
sitemik.
Mekanisme perubahan kebahasaan dalam
interferensi sistemik ialah yang disebut pungutan (borrowing) yang berhubungan erat dengan pungutan kebudayaan (cultural diffusion)
Campur
Kode
Aspek lain dari saling ketergantungan
bahasa (language depency) dalam masyarakat multilingual adalalah
terjadinya campur kode (code-mixing). Suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur
dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak bahasa (speech act atau
dicourse) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut
pencampuran bahasa itu. Dalam keadaan demikian, hanya kesantaian penutur dan/
atau kebiasaannya yang dituruti. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.
Apabila di dalam alih kode fungsi
konteks dan relevansi situasi merupakan ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh
adanya hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan
maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu; sedangkan fungsi kebahasaan
berarti apa yang hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya (Suwito
1991:88). Ciri lain dari gejala campur kode ialah bahwa unsur-unsur bahasa atau
variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Di dalam kondisi yang maksimal
campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence)
yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
Kachru (1978:28 dalam Suwito 1991:89)
memberikan batasan campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling
memasukkan unsusr-unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang satu ke dalam
bahasa yang lain secara konsisten.
Selain itu, Thelander (1976:103 dalam
Suwito 1991:98) berpendapat bahwa unsur-unsur bahasa yang terlibat dalam
“peristiwa campur” (co-occurance) itu terbatas pada tingkat klausa.
Apabila dalam suatu tuturan terjadi percampuran atau kombinasi antara
variasi-variasi yang berbeda di dalam satu klausa yang sama, maka peristiwa itu
disebut campur kode.
Menurut Hudson (1996:53) menyatakan bahwa
“In code switching the point at which the
languages change corresponds to a point where the situation changes, either on
its own or precisely because the language changes”, yang artinya perubahan
bahasa dalam sebuah tuturan oleh seorang dwibahasawan ke penutur dwibahasa
lainnya tanpa adanya perubahan situasi.
Adapun alasan penyebab terjadinya campur kode
menurut Suwito (1991:90-91) ada dua yaitu campur kode yang bersifat ke luar dan
ke dalam. Penyebab terjadinya campur kode yang bersifat ke luar antara lain :
(a) identifikasi peranan,(b) identifikasi ragam dan (c) keinginan untuk
menjelaskan dan menafsirkan. Dalam hal ini pun, ketiganya saling bergantung dan
tidak jarang bertumpah tindih. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial,
registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa dimana
seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam
hierarki status sosialinya. Keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, nampak
karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan
sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
Campur kode ke dalam nampak misalnya apabila
seorang penutur menyisipkan unsur-unsur bahasa daerahnya ke dalam bahasa
nasional, unsur-unsur dialeknya ke dalam bahasa daerahnya atau unsur-unsur
ragam dan gayanya ke dalam dialeknya. Selain itu, campur kode terjadi karena
adanya hubungan timbal balik antara peranan (penutur), bentuk bahasa dan fungsi
bahasa. Artinya penutur yang mempunyai latar belakang sosial tertentu,
cenderung memilih bentuk campur kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi
tertentu. Pemilihan bentuk campur kode demikian dimaksudkan untuk menunjukkan
status sosial dan identitas pribadinya di dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep yang telah diuraikan para
ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode merupakan pemakaian dua
bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dimana unsur-unsur bahasa
atau variasi-variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai
tersendiri.
Daftar Pustaka
Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik, Suatu Pengantar.
Jakarta: Penerbit Gramedia
Rahardi, R. Kunjana. 2010. Kajian Sosiolinguistik. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
http://fathurrokhmancenter.wordpress.com/sosiolinguistik/
No comments:
Post a Comment