Pemikiran Jepang : perspektif shinto
1.
Latar Belakang
Jepang memiliki sejarah yang panjang,
sejarah kekaisaran Jepang bermula dari cerita Kojiki tahun 720 dan Nihon Shoki
712. Kehidupan beragama masyarakat Jepang dapat pula dicari dari sepanjang
sejarah bangsa tersebut. Jepang yang memiliki
usia yang cukup tua telah melewati berbagai peristiwa yang membawa Jepang pada
masa keterpurukannya, yakni masa ketika Jepang masih mengisolasi dirinya secara
geografis selama kurang lebih 250 tahun (1638-1853) pada zaman Edo dan berhasil
bangkit kembali pada pemerintahan kaisar Meiji yang membimbing bangsa Jepang
untuk bergerak maju sehingga dalam beberapa dasawarsa mampu mencapai
pembentukan suatu bangsa yang modern dengan mencontoh negara – negara barat
tanpa harus takut bahwa hasil westernisasi akan menggoyahkan kepribadian bangsa
Jepang. Kebangkitan Jepang menjadikan bangsa ini sebagai negara yang kuat dan
berpengaruh hingga saat ini.
Hal ini dapat dilihat di negara kita sendiri, bahwa Jepang
mampu memberikan pengaruhnya dalam berbagai pranata kehidupan masyarakat
Indonesia, seperti ekonomi, pendidikan, ilmiah, estetika, dan hiburan.
Sangatlah mudah untuk menemukan pengaruh Jepang dalam kehidupan kita sehari –
hari dan tak dapat dipungkiri setiap rumah di Indonesia ini memiliki sesuatu
yang berhubungan dengan Jepang mulai dari yang paling kecil misalnya sendok
stainless steel, kunci, penyangga pintu, kotak bekal, hiburan, makanan,
peralatan elektronik hingga hal yang besar seperti perusahaan – perusahaan
Jepang yang memiliki pengaruh besar bagi perekonomian Indonesia, semuanya itu
tak dapat dipisahkan dari kehidupan kita. Pengaruh – pengaruh itu tentu turut
serta membawa budaya dan pemikiran Jepang masuk ke dalam pranata masyarakat
kita. Dalam Koentjaraningrat (1974:23) pranata adalah suatu sistem aktivitas
khas dari kelakuan berpola beserta komponen – komponennya yakni sistem norma
dan tata kelakuannya dan peralatannya ditambah dengan manusia atau personel
yang melaksanakan kelakuan berpola.
Jepang merupakan negara yang masih
memegang tradisi yang kuat yang bersanding dengan teknologi modern yang kuat pula. Tradisi yang masih begitu kuat dalam
kehidupan orang Jepang didasari oleh pemikiran Jepang yang berlatar belakang agama Shinto. Sebenarnya Jepang tidak hanya mengakui agama
Shinto saja, masih ada agama lain
seperti Budha dan Konfusianisme yang masuk dari Cina dan Korea, Katolik,
Protestan dan Islam yang masuk kemudian pada masa prasejarah akhir dan pada
masa sejarah. Diantara semua agama yang dianut orang Jepang tersebut,
Shintoisme adalah yang tertua dan dianggap sebagai agama pribumi orang Jepang. Shinto dibangun oleh orang Jepang
sendiri dan dan sudah menjadi dasar kehidupan
orang Jepang sejak jaman dahulu.
Dalam Genchi Kato (1971:88) disebutkan
bahwa Shinto merupakan kepercayaan asli dari negri Jepang dan merupakan asal
mula mental orang – orang Jepang, sehingga agama
ini tidak memiliki
pendiri individu, seperti yang dimiliki oleh Budha, Kristen atau pun Islam.
Shinto lahir di Jepang oleh orang Jepang sendiri dan menjadi
agama tertua Jepang, namun tidak diketahui kapan mulai muncul. Menurut Harumi
Befu dalam Danandjaja (1997:164) walaupun mempunyai satu agama, agama ini
(shinto) sebenarnya merupakan gabungan dari kepercayaan “primitif” yang sukar
untuk digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai satu sistem kepercayaan.
Oleh karenanya agama ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari
kepercayaan “primitif” dan praktek – praktek yang berkaitan dengan jiwa – jiwa,
roh – roh, dan sebagainya; sehingga Shinto dapat dikatakan sebagai Animisme.
Menurut E.B Tylor dalam Dhavamony (1995:66) animisme dapat dipahami sebagai suatu
sistem kepercayaaan dimana manusia religius, khususnya orang – orang primitif,
membubuhkan jiwa pada manusia dan juga pada semua makhluk hidup dan benda mati.
Itu jugalah sebabnya maka Shinto tidak memiliki pendiri individu seperti agama
– agama lain.
Shinto sebagai sebuah kepercayaan setua negara Jepang itu
sendiri dan yang keberadaannya sepanjang keberlangsungan negara, tentu mempengaruhi
kebudayaan dalam kehidupan orang Jepang. Kebudayaan menurut ahli antropologi
dalam Koentjaraningrat (2002:180) adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
demikian ke-budaya-an dapat diartikan : “hal – hal yang bersangkutan dengan
akal”.
Menurut Koentjaraningrat, Kebudayaan
memiliki 3 wujud, wujud pertama adalah wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma, peraturan dan
sebagainya, disebut kebudayaan ideal. Wujud kedua wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat,
disebut sistem sosial. Dan wujud yang ketiga wujud kebudayaan sebagai benda –
benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik.
Dalam Koentjaraningrat (2002:108),
kebudayaan ideal baik pikiran – pikiran dan ide – ide, maupun tindakan dan
karya manusia, menghasilkan benda – benda kebudayaan fisik, sebaliknya
kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang makin lama
makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya sehingga mempengaruhi pula
pola – pola perbuatannya, bahkan juga cara berpikirnya. Cara berpikir tentunya tidak dapat dilepaskan dari ajaran – ajaran yang
kemudian dijadikan falsafah hidup oleh suatu bangsa. Demikian pula halnya dengan alam pikiran bangsa Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Shintoisme sebagai ajaran asli.
Dalam kepercayaan Shinto, meyakini adanya penyembahan terhadap
berbagai objek di alam. Penyembahan tersebut
dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan cara mengikut sertakan objek
– objek alam dalam sebuah acara ritual keagamaan maupun sebuah pemahaman yang
diterapkan dalam kehidupan bangsa Jepang. Bukti bahwa Shinto melakukan
penyembahan terhadap alam dapat dilihat dari adanya sebutan dewa bagi bermacam
– macam hewan dan objek alam sekitar yang diyakini memiliki tugas – tugas
tertentu. Sehingga
dari sini dapat kita lihat bagaimana Jepang sangat menghargai alamnya. Hal ini juga mempengaruhi cara berpikir masyarakat Jepang dalam
kehidupannya.
Shinto telah menjadi
dasar mentalitas orang Jepang, yakni kebiasaan atau karakteristik dari sikap
mental yang menentukan bagaimana mengartikan ataupun merespon situasi, serta menjadi
dasar kebudayaan Jepang. Sebagaimana Shinto
adalah kepercayaan nasional , dan seperti yang kita ketahui bahwa unsur religi
adalah unsur yang paling sulit berubah dalam tujuh unsur kebudayaan, dan menjadi
hal yang paling melekat dalam bangsa Jepang.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut tentang bagaimana pemikiran Jepang jika dilihat dari perspektif
Shinto.
2.
Rumusan Masalah
Masyarakat Jepang menganut banyak kepercayaan. Negara Jepang
sendiri mengakui beberapa agama, namun hanya satu yang dianggap sebagai
kepercayaan nasional yaitu Shinto. Kepercayaan shinto telah diyakini masyarakat
Jepang sejak lama bahkan sejak Shinto masih sebagai kepercayaan primitif.
Keberlangsungan Shinto yang begitu lama dalam masyarakat Jepang telah melekat
sangat kuat dan mempengaruhi kebudayaan Jepang dan pemikiran orang Jepang itu
sendiri.
Sehubungan dengan uraian latar belakang yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah melalui pertanyaan
sebagai berikut:
-
Bagaimana cara berpikir
orang Jepang jika dilihat dari sudut pandang kepercayaan Shinto.
3.
Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam penelitian ini, agar penelitian lebih terarah dan
teratur maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan. Hal ini dimaksudkan
agar permasalahan tidak berkembang menjadi terlalu luas dan pembahasan yang dangkal.
Pembahasan pada penelitian kali ini difokuskas pada bagaimana
konsep pemikiran yang lahir dari ajaran shinto yakni yang lahir dari Empat
Afirmasi (penegasan) dalam Shinto serta aktualisasinya dalam kegiatan hidup
orang Jepang.
No comments:
Post a Comment